Oleh: Budi Lungsurawan *(
Menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024, perhatian publik kini tertuju pada ajakan untuk golput yang berpotensi mengganggu kelancaran proses demokrasi. Golput, atau gerakan untuk tidak memilih, menjadi tantangan serius karena dapat melemahkan legitimasi Pilkada dan mengurangi partisipasi masyarakat dalam memilih pemimpin daerah. Komisi Pemilihan Umum (KPU) DKI Jakarta memberikan peringatan tegas bahwa ajakan golput, terutama yang disertai imbalan, merupakan tindakan yang bisa dipidanakan.
Ketua Divisi Sosialisasi, Pendidikan Pemilih, dan Partisipasi Masyarakat KPU DKI Jakarta, Astri Megatari mengatakan bahwa meskipun memilih atau tidak memilih adalah hak individu, mengajak orang lain untuk tidak memilih adalah pelanggaran hukum, apalagi jika disertai janji atau pemberian imbalan. Astri mengacu pada Pasal 187A ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 yang mengatur bahwa orang yang melakukan tindakan tersebut dapat dipidana penjara hingga enam tahun dan denda maksimal satu miliar rupiah. Sanksi ini juga berlaku bagi pemilih yang menerima imbalan sebagai bagian dari upaya memengaruhi hak pilih mereka.
Undang-undang ini dirancang untuk mencegah adanya manipulasi dan memastikan bahwa pemilihan umum berlangsung dengan jujur dan adil. Astri optimis bahwa warga Jakarta tidak akan terpengaruh oleh ajakan golput maupun gerakan serupa, seperti gerakan “Tusuk Tiga Paslon” yang muncul sebagai bentuk kekecewaan sebagian masyarakat atas tidak majunya Anies Baswedan sebagai calon gubernur DKI Jakarta.
Namun, ancaman ajakan golput ini tidak hanya terjadi di DKI Jakarta. Di Jawa Timur, muncul pula gerakan “kotak kosong”, di mana warga diajak untuk memilih kotak kosong alih-alih calon yang ada di Pilkada. Ketua PW Muhammadiyah Jawa Timur, Prof Sukadiono mengimbau warganya untuk tidak ikut dalam gerakan tersebut, karena memilih kotak kosong dapat mengakibatkan kekosongan kepemimpinan definitif selama lima tahun. Ia menegaskan pentingnya berpartisipasi aktif dalam memilih, karena hal tersebut berpengaruh besar pada kelangsungan pemerintahan yang efektif.
Gerakan golput dan kotak kosong, jika dibiarkan berkembang, dapat melemahkan proses demokrasi di Indonesia. Pilkada merupakan salah satu pilar penting demokrasi, di mana masyarakat memiliki kesempatan untuk memilih pemimpin yang akan memimpin daerahnya selama beberapa tahun ke depan. KPU dan Bawaslu di berbagai daerah telah meningkatkan upaya sosialisasi untuk menekan angka golput dan memastikan bahwa masyarakat memahami pentingnya peran mereka dalam Pilkada.
Golput tidak hanya merugikan proses politik, tetapi juga menimbulkan tantangan bagi legitimasi hasil pemilihan. Semakin rendah tingkat partisipasi, semakin besar kemungkinan hasil Pilkada dipertanyakan oleh berbagai pihak. Hal ini dapat menciptakan ketidakstabilan politik dan mengganggu proses pembangunan di daerah. Oleh karena itu, penting untuk mengajak masyarakat, terutama pemilih pemula, untuk berpartisipasi aktif dalam Pilkada.
Di tengah berbagai tantangan, peran tokoh agama dan masyarakat menjadi sangat penting dalam menjaga kepercayaan masyarakat terhadap Pilkada. Sebagai pemimpin yang dihormati dan memiliki pengaruh besar, tokoh agama dapat menjadi mediator yang membantu meredakan ketegangan politik dan mendorong dialog antar kelompok yang berbeda pandangan. Mereka juga dapat berperan dalam memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang pentingnya menggunakan hak pilih mereka.
Tokoh agama, seperti yang terlihat di beberapa daerah, telah aktif dalam upaya menjaga situasi yang kondusif menjelang Pilkada. Misalnya, di Sulawesi Tengah, tokoh agama bekerja sama dengan pihak kepolisian untuk mengadakan silaturahmi dan dialog dengan masyarakat. Mereka menekankan pentingnya menjaga keamanan dan ketertiban selama proses Pilkada serta memberikan pemahaman tentang tahapan dan prosedur Pilkada. Dengan adanya dialog terbuka, masyarakat dapat mengutarakan kekhawatiran mereka dan menghindari terjebak dalam informasi yang menyesatkan.
Kepolisian juga memainkan peran penting dalam menjaga keamanan dan ketertiban selama Pilkada. Di beberapa daerah, pihak kepolisian aktif melakukan pendekatan ke masyarakat untuk memastikan Pilkada berjalan aman dan damai. Misalnya, di Kabupaten Tojo Una-Una, Sulawesi Tengah, dan Kabupaten Rokan Hulu, Riau, polisi bekerja sama dengan tokoh agama dan masyarakat dalam upaya sosialisasi pencegahan golput. Mereka mengajak pemilih, terutama pemilih pemula, untuk tidak mudah terpengaruh oleh politik uang dan kampanye hitam yang sering kali muncul menjelang Pilkada.
Selain itu, kepolisian juga berperan dalam menjaga keamanan siber untuk mencegah penyebaran hoaks dan kampanye hitam di media sosial. Penyebaran informasi yang salah dapat memicu ketegangan di masyarakat dan mengganggu proses Pilkada. Oleh karena itu, polisi mengimbau masyarakat untuk berhati-hati dalam menerima dan menyebarkan informasi, serta tetap fokus pada partisipasi aktif dalam Pilkada.
Ajakan golput, baik dalam bentuk gerakan “Tusuk Tiga Paslon” maupun “kotak kosong”, merupakan ancaman nyata bagi keberlangsungan Pilkada 2024. Partisipasi masyarakat dalam Pilkada sangat penting untuk menjaga legitimasi pemimpin yang terpilih dan memastikan pemerintahan berjalan dengan efektif. Oleh karena itu, peran tokoh agama, masyarakat, kepolisian, dan sosialisasi yang terus-menerus sangat dibutuhkan untuk mencegah golput dan memastikan Pilkada berjalan dengan aman dan damai.
Dengan dukungan dari semua pihak, diharapkan Pilkada 2024 tidak hanya menjadi ajang pemilihan pemimpin, tetapi juga menjadi momentum untuk memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa serta membangun masa depan yang lebih baik bagi daerah dan negara.
*( Penulis merupakan Pembina Komunitas Sehat Politik Provinsi Jawa Barat