Oleh : Aisyah Lubis )*
Bali menjadi tuan rumah World Water Forum ke-10 yang baru saja resmi dibuka, sebuah event internasional yang berlangsung untuk mendiskusikan isu-isu mendesak yang berkaitan dengan air dan keberlanjutan lingkungan. Forum ini menarik perhatian global, dengan ratusan delegasi dari berbagai negara datang untuk membahas strategi, solusi, dan tantangan yang terkait dengan krisis air. Serangkaian tantangan dan peluang pun menghadang negara-negara yang menjadi peserta dalam forum ini.
Pada saat pembukaan WWF ke-10, Presiden Jokowi menyatakan bahwa Indonesia menjadi tuan rumah forum air dunia yang ke-10 ini demi meneguhkan komitmen bersama dan merumuskan aksi nyata pengelolaan air yang inklusif dan berkelanjutan. Presiden memberikan ilustrasi bahwa kini 72 persen permukaan bumi yang tertutup air, hanya 1 persen yang bisa diakses dan digunakan sebagai air minum dan keperluan sanitasi.
Isu air pun kian krusial. Presiden menyebut bahkan di tahun 2050, 500 juta petani kecil sebagai penyumbang 80 persen pangan dunia diprediksi paling rentan mengalami kekeringan. Sebagaimana tanpa air tidak ada makanan, tidak ada perdamaian, tidak kehidupan. Oleh sebab itu Presiden di hadapan seluruh delegasi WWF ke-10 yang hadir, mengajak semua pihak bekerja sama mengelola air dengan baik karena setiap tetesnya sangat berharga.
Presiden pun meneguhkan Indonesia sebagai negara dengan luas perairan yang mencapai 65 persen, Indonesia kaya kearifan lokal dalam pengelolaan air, mulai dari sepanjang garis pantai, pinggiran aliran sungai, sampai tepian danau. Masyarakat Indonesia memiliki nilai budaya terhadap air, salah satunya adalah sistem pengairan Subak di Bali yang dipraktekkan sejak abad ke-11 yang lalu, dan diakui sebagai warisan budaya dunia.
Namun, tantangan lain tentunya menghadang, seperti perubahan iklim membawa tantangan yang signifikan. Suhu yang meningkat, perubahan pola cuaca, dan meningkatnya frekuensi bencana alam, seperti banjir dan kekeringan, semuanya mempengaruhi ketersediaan air. Fenomena ini tidak hanya berdampak pada kehidupan sehari-hari, tetapi juga pada sektor ekonomi dan pertanian yang bergantung pada sumber daya air yang stabil.
Acara World Water Forum 2024 di Bali adalah kesempatan bagi negara-negara untuk mengumpulkan ide, berbagi praktik terbaik, dan merumuskan strategi yang dapat mengatasi tantangan ini. Namun, pertanyaannya adalah, bagaimana negara-negara dapat mengambil keuntungan dari kesempatan ini dan menjadikannya langkah awal untuk tindakan nyata?
Bertajuk “Water for Shared Prosperity” atau “Air untuk Kemakmuran Bersama”, tema ini membawa penyelenggaraan terdiri dari tiga tahapan proses, yakni Thematic Process, Regional Process, dan Political Process.
Sebagaimana ungkapan Presiden Jokowi saat opening speech WWF ke-10, masyarakat Bali Air adalah kemuliaan yang mengandung nilai spiritual dan budaya yang harus dikelola bersama, hal tersebut sejalan dengan tema kita tahun ini, yaitu air bagi kemakmuran bersama yang bisa dimaknai menjadi 3 prinsip dasar yaitu menghindari persaingan, mengedepankan pemerataan dan kerja sama inklusif serta menyokong perdamaian dan kemakmuran bersama.
World Water Forum adalah tempat di mana kolaborasi lintas negara dapat terjadi. Setiap negara membawa pengalaman dan tantangan unik, dan forum ini menyediakan platform untuk berbagi pengetahuan dan solusi inovatif. Misalnya, Bali memiliki sistem Subak, sebuah metode irigasi tradisional yang diakui oleh UNESCO dalam sidang ke-36 Komite Warisan Dunia UNESCO di kota Saint Peterburg, Rusia, yang menjadi contoh bagi negara lain dalam hal pengelolaan air berkelanjutan.
Namun, kolaborasi tidak hanya melibatkan pertukaran pengetahuan. Dalam konteks global, negara-negara perlu bekerja sama untuk mengembangkan teknologi dan strategi yang dapat digunakan secara luas. Dalam World Water Forum ini, pihak-pihak dari berbagai sektor dapat mendiskusikan cara mengatasi krisis air bersih, mengelola sumber daya air, dan mengatasi dampak perubahan iklim.
Usaha-usaha yang telah dilakukan ditunjukkan agar dapat menjadi contoh bagi dunia. Indonesia juga terus memperkuat diplomasi air dalam mencapai SDGs ke-6, yaitu ketersediaan air bersih dan sanitasi yang layak yang hanya tersisa 6 tahun lagi untuk dicapai. Kerja sama internasional melalui intensifitas kolaborasi dan diplomasi air perlu ditingkatkan guna saling belajar pengelolaan sumber daya air yang berkelanjutan dan berketahanan iklim demi mewujudkan akses air bersih global pada 2030.
Salah satu tantangan terbesar dalam forum internasional adalah memastikan bahwa diskusi dan rekomendasi diterjemahkan menjadi aksi nyata. Negara-negara yang berpartisipasi dalam World Water Forum harus siap untuk berkomitmen pada tindakan yang akan berdampak positif pada krisis air, termasuk investasi dalam infrastruktur, implementasi kebijakan yang lebih ketat, dan pengembangan teknologi yang berkelanjutan.
World Water Forum 2024 juga menyoroti pentingnya pendekatan holistik. Krisis air tidak hanya mempengaruhi aspek lingkungan, tetapi juga berdampak pada kesehatan, ekonomi, dan stabilitas sosial. Oleh karena itu, strategi yang dihasilkan dari forum ini mencakup berbagai aspek, mulai dari sanitasi hingga pengelolaan sumber daya air yang berkelanjutan.
Sebagai tuan rumah, Indonesia memiliki peluang besar untuk menunjukkan komitmen dan kepemimpinannya dalam menghadapi krisis air. World Water Forum 2024 di Bali adalah kesempatan besar bagi negara-negara di dunia untuk bekerja sama dalam mengatasi krisis air global. Tantangan yang dihadapi mungkin besar, tetapi peluang untuk berkolaborasi, berbagi praktik terbaik, dan berkomitmen terhadap aksi nyata juga besar. Dengan komitmen terhadap keberlanjutan, forum ini menjadi langkah penting menuju masa depan yang lebih baik dalam hal pengelolaan air dan lingkungan.
)* Penulis adalah Diaspora Indonesia di Belgia.