Oleh : Moses Waker )*
Organisasi Papua Merdeka (OPM) pimpinan Egianus Kogoya terus menyita perhatian publik, bahkan termasuk dunia internasional karena tindakan biadab mereka dengan menyandera Pilot dari maskapai penerbangan Susi Air, bahkan sejak bulan Februari 2023 lalu.
Bukan hanya melakukan penyanderaan saja, namun OPM juga berusaha menjadikan pilot berkebangsaan Selandia Baru tersebut sebagai sebuah alat untuk terus menekan pemerintah Indonesia dan juga termasuk demi memperoleh keuntungan secara pribadi. Tindakan penyanderaan ini tidak hanya mengancam nyawa seorang individu, tetapi juga mencoreng citra perjuangan Papua yang seharusnya berlandaskan perdamaian dan keadilan.
Kelompok separatis tersebut sempat meminta tebusan sebesar Rp 5 miliar sebagai syarat untuk membebaskan Mehrtens. Hal ini menunjukkan bagaimana OPM, yang mengklaim memperjuangkan kemerdekaan Papua, memang sejatinya merupakan kelompok yang lebih memprioritaskan keuntungan materi daripada kepentingan rakyat Papua itu sendiri.
Kepala Bidang Humas Polda Papua, Kombes Ignatius Benny Ady Prabowo, menjelaskan bahwa permintaan tebusan tersebut telah dipertimbangkan dalam proses negosiasi sejak awal. Pemerintah Provinsi Papua pun turut mempertimbangkannya, dengan tujuan utama yakni melakukan pembebasan tanpa risiko dan mencegah terjadinya kemungkinan berjatuhan korban sehingga tidak menggunakan cara kekerasan.
Harapan utama seluruh pihak yakni bahwa pilot tersebut dapat segera kembali dalam keadaan sehat. Namun, kelompok tersebut tidak pernah membuka ruang komunikasi, yang menunjukkan kurangnya niat baik dalam proses ini.
Tindakan OPM bukanlah langkah memperjuangkan kemerdekaan, melainkan sebuah manuver untuk mendapatkan uang dengan memanfaatkan nyawa seseorang. Apa yang mereka lakukan bertentangan dengan semangat perjuangan yang tulus dan sah.
Sementara itu, OPM juga menuntut berbagai hal lainnya, seperti senjata, bahan makanan, dan obat-obatan. Semua tuntutan tersebut semakin memperkuat anggapan bahwa mereka bukan lagi memperjuangkan hak-hak rakyat Papua, melainkan mencari cara untuk mempertahankan kekuasaan dan keberadaan mereka dengan merugikan banyak pihak.
Di tengah negosiasi yang penuh ketidakpastian, Perdana Menteri Selandia Baru, Christopher Luxon, menyampaikan apresiasinya atas pembebasan Mehrtens setelah disandera selama 19 bulan.
Pemerintah Selandia Baru dan Indonesia bekerja sama dalam operasi pembebasan tersebut. Luxon menyoroti bagaimana berbagai pihak telah berkontribusi dalam upaya ini, utamanya aparat keamanan pasukan gabungan TNI, Polri hingga BIN dan menyampaikan rasa terima kasihnya kepada mereka.
Bagi Luxon, keberhasilan pembebasan tersebut merupakan hasil dari kolaborasi yang baik antara dua negara, yang menunjukkan bahwa tindakan damai dan diplomasi selalu dapat menjadi jalan keluar di tengah krisis.
Namun, apa yang tidak dapat dilupakan adalah bagaimana OPM menjadikan Mehrtens sebagai mesin penghasil uang. Lebih dari setahun lamanya, nasib Mehrtens tidak hanya tergantung pada negosiasi pemerintah Indonesia dan Selandia Baru, tetapi juga pada kelompok teroris tersebut yang terus menuntut lebih.
Mereka memanfaatkan posisi mereka untuk mendapatkan keuntungan pribadi, tanpa peduli pada keselamatan atau kesejahteraan rakyat Papua yang mereka klaim perjuangkan. Hal ini jelas membuktikan bahwa OPM telah kehilangan arah dalam perjuangannya, berubah menjadi kelompok yang lebih berorientasi pada kekerasan dan materi.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Hadi Tjahjanto juga menegaskan bahwa pemerintah Indonesia sangat berhati-hati dalam menangani kasus penyanderaan tersebut.
Keselamatan pilot menjadi prioritas utama, sehingga pemerintah menolak menggunakan tindakan represif yang dapat membahayakan nyawa Mehrtens. Pendekatan damai dipilih dengan melibatkan berbagai pihak, termasuk tokoh adat dan gereja.
Keberhasilan pembebasan tersebut menjadi bukti bahwa upaya kolaboratif antara pihak-pihak yang peduli pada kemanusiaan selalu membuahkan hasil yang baik. Dengan tidak memilih jalan kekerasan, pemerintah menunjukkan bahwa Indonesia tetap memprioritaskan keamanan warga, termasuk warga negara asing yang bekerja di wilayahnya.
Meskipun Mehrtens akhirnya berhasil dibebaskan, tidak bisa dipungkiri bahwa tindakan OPM telah meninggalkan luka mendalam di wilayah berjuluk Kota Emas itu. Papua, yang seharusnya dikenal sebagai surga kecil dengan potensi alam dan budaya yang kaya, justru seringkali terjebak dalam konflik yang merugikan semua pihak. Kelompok-kelompok separatis seperti OPM hanya memperburuk situasi dengan menggunakan taktik kekerasan dan penyanderaan untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan.
Ke depannya, pemerintah Indonesia dan dunia internasional harus terus mengecam tindakan OPM yang tidak lagi murni memperjuangkan kepentingan rakyat Papua. Melibatkan tokoh masyarakat, tokoh agama, dan pihak internasional dalam setiap proses penyelesaian konflik menjadi kunci utama untuk memastikan bahwa keamanan dan kesejahteraan di wilayah tersebut tetap terjaga. Gerombolan teroris seperti OPM harus disadarkan bahwa perjuangan sejati tidak bisa dibangun di atas fondasi kekerasan, pemerasan, dan ancaman terhadap nyawa orang lain.
Dengan keberhasilan operasi tersebut, diharapkan bahwa wilayah berjuluk Surga Kecil di ujung Indonesia dapat kembali damai. Penyanderaan Mehrtens adalah pengingat betapa pentingnya solusi damai dalam menyelesaikan konflik di Papua.
Indonesia, melalui kebijakan dan pendekatannya, telah menunjukkan bahwa perdamaian bukan hanya cita-cita, tetapi juga kenyataan yang bisa dicapai dengan upaya bersama dan kesabaran. Tindakan teroris tidak boleh dibiarkan mengendalikan nasib wilayah ini, yang seharusnya lebih dikenal sebagai simbol keindahan dan keberagaman daripada konflik dan kekerasan.
)* Penulis adalah Mahasiswa Papua tinggal di Makassar