Mendukung Pilkada 2024 Tanpa Politik Uang Demi Wujudkan Kepemimpinan Amanah

Oleh: Riyanto Pratama )*

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 di Indonesia adalah momen penting yang mencerminkan aspirasi dan harapan masyarakat terhadap kepemimpinan yang lebih baik. Setiap Pilkada menjadi ajang bagi rakyat untuk menentukan masa depan daerah masing-masing melalui hak suara. Namun, seiring dengan perjalanan demokrasi di Tanah Air, muncul tantangan besar yang mengancam integritas proses Pilkada, yaitu praktik politik uang. Hal ini menjadi perhatian banyak pihak, termasuk pemerintah, masyarakat sipil, dan calon pemimpin yang berkomitmen untuk menciptakan Pilkada yang bersih dan adil.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyoroti salah satu tantangan utama dalam penyelenggaraan Pilkada, yakni praktik politik uang. Presiden Jokowi melihat politik uang bukan hanya sekadar masalah teknis dalam proses Pilkada, melainkan sebuah penyakit yang telah lama menggerogoti demokrasi di Indonesia. Dalam pandangan Presiden, praktik ini selalu hadir dalam setiap tahapan Pilkada, baik pada tingkat daerah maupun nasional. Pengalaman Presiden Jokowi sebagai seorang politikus yang terlibat dalam berbagai pemilihan, dari Pilkada tingkat kota hingga pemilihan presiden, memperkuat pandangannya bahwa praktik ini sulit dihindari.

Dalam upaya menanggulangi masalah ini, Presiden Jokowi menyerukan peran aktif Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Presiden meminta Bawaslu lebih proaktif dalam mengawasi dan mencegah potensi pelanggaran Pilkada, termasuk politik uang. Presiden Jokowi juga mengajak masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam upaya pencegahan ini. Tanpa keterlibatan masyarakat, upaya menanggulangi politik uang tidak akan berjalan maksimal.

Dengan pengawasan ketat dan kerja sama dari semua pihak, praktik politik uang dapat diminimalisasi, sehingga Pilkada di Indonesia dapat berjalan lebih jujur, adil, dan bermartabat. Lebih jauh lagi, keikutsertaan aktif masyarakat dalam melaporkan praktik politik uang juga penting untuk membangun kesadaran akan pentingnya menjaga integritas pemilu.

Tantangan penanganan politik uang juga disoroti oleh Bawaslu DKI Jakarta. Menghadapi Pilkada 2024 yang akan datang, praktik politik uang menjadi salah satu ancaman terbesar bagi demokrasi yang bersih dan berintegritas. Menurut Ketua Bawaslu DKI Jakarta, Munandar Nugraha, tantangan ini tidak hanya melibatkan pelaku yang memberi uang, tetapi juga penerima yang sering kali menjadi bagian dari sistem yang korup. Munandar menegaskan bahwa pelaku dan penerima politik uang bisa dikenakan sanksi pidana, namun hal ini justru menambah kesulitan dalam penanganan, karena sering kali penerima enggan melapor dengan alasan takut terkena sanksi hukum.

Selain itu, Munandar mengatakan bahwa politik uang merupakan tantangan terberat bagi tim Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) di setiap wilayah DKI Jakarta. Tim Gakkumdu yang terdiri dari unsur Bawaslu, kepolisian, dan kejaksaan ini dituntut untuk melakukan pengawasan intensif dan penindakan yang tegas terhadap pelanggaran politik uang. Namun, sering kali upaya ini terkendala oleh kurangnya bukti atau keengganan masyarakat untuk melapor.

Dalam upaya pencegahan politik uang, Bawaslu DKI Jakarta telah menggandeng berbagai pihak terkait, seperti tokoh masyarakat, organisasi, hingga warga setempat, untuk berpartisipasi dalam pengawasan Pilkada. Pengawasan partisipatif ini diharapkan dapat menekan praktik politik uang di lapangan. Dengan melibatkan masyarakat secara langsung dalam pengawasan, diharapkan bisa meningkatkan kesadaran akan pentingnya menjaga Pilkada yang bersih dan berintegritas.

Lebih lanjut, Munandar menambahkan bahwa mengandalkan laporan dari penerima politik uang sering kali tidak efektif karena penerima enggan melaporkan pelanggaran tersebut, mengingat mereka juga bisa terkena pidana. Oleh karena itu, kelompok-kelompok independen, seperti tokoh masyarakat dan organisasi, diharapkan dapat menjadi jembatan yang efektif dalam menyampaikan informasi dan membantu mengawasi jalannya Pilkada.

Di sisi lain, Anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) RI, Ratna Dewi Pettalolo, menegaskan pentingnya peran kaum perempuan dalam mengawal Pilkada yang bersih dari politik uang. Menurut Ratna, kaum perempuan memiliki pengaruh besar dalam keluarga dan komunitas, sehingga mereka dapat berperan aktif dalam menolak politik uang dan mendorong pemilih untuk memilih berdasarkan program dan kualitas calon, bukan karena iming-iming uang.

Praktik politik uang tidak hanya merusak integritas Pilkada, tetapi juga mengikis kepercayaan masyarakat terhadap proses demokrasi. Politik uang mengubah proses Pilkada menjadi ajang transaksi finansial, di mana suara rakyat diperjualbelikan, bukan sebagai sarana untuk menyalurkan aspirasi dan memilih pemimpin yang terbaik. Penolakan terhadap politik uang menjadi landasan utama berbagai upaya untuk menciptakan Pilkada yang adil dan bersih. Penolakan ini tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah dan penyelenggara pemilu, tetapi juga seluruh elemen masyarakat, termasuk partai politik, organisasi masyarakat, dan pemilih.

Dengan menolak politik uang, diharapkan pemimpin yang terpilih melalui Pilkada benar-benar merupakan pilihan rakyat yang didasarkan pada visi, misi, dan program kerja yang nyata dan bermanfaat bagi masyarakat. Pemimpin yang terpilih secara bersih diyakini akan memiliki tanggung jawab moral yang lebih tinggi dalam menjalankan tugasnya, serta lebih sedikit terikat oleh kepentingan kelompok atau individu yang mendanainya. Pemimpin yang amanah dan bertanggung jawab terpilih, membawa manfaat jangka panjang bagi daerah dan masyarakat yang dipimpinnya, sehingga pembangunan dan kesejahteraan masyarakat dapat tercapai secara lebih efektif dan merata.

)* Penulis adalah kontributor Jendela Baca Institute

Back To Top