Oleh : Ni Luh Made Kusuma )*
Hari Kelahiran Pancasila yang diperingati setiap 1 Juni bukan sekadar seremonial tahunan, tetapi sebuah momen penting untuk merefleksikan kembali betapa krusialnya ideologi Pancasila dalam mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Peringatan ini juga menjadi ajakan bagi seluruh elemen masyarakat, terutama generasi muda, untuk lebih waspada dan aktif dalam menangkal penyebaran radikalisme yang semakin meresap melalui berbagai media, khususnya internet.
Pancasila, dengan nilai-nilai kebersamaan dan toleransinya, menjadi tameng yang harus terus diperkuat untuk menghadapi tantangan ideologi alternatif yang sering kali memicu perpecahan.
Anggota Komisi I DPR RI, Taufiq R. Abdullah, menyampaikan bahwa era globalisasi membawa tantangan besar bagi ketahanan ideologi Pancasila dan keutuhan NKRI. Berbagai ideologi alternatif mudah merasuki masyarakat melalui media informasi yang semakin mudah diakses oleh semua kalangan, termasuk anak-anak muda.
Radikalisme, sebagai ideologi yang menginginkan perubahan sosial dan politik dengan cara kekerasan, menjadi salah satu ancaman terbesar. Distorsi pemahaman agama sering kali menjadi akar dari sikap radikal dalam beragama, di mana pemahaman yang harfiah atau literal terhadap dalil agama menimbulkan kekakuan dan intoleransi.
Internet telah menjadi saluran utama untuk menyebarkan dan mempelajari konten keagamaan, terutama di kalangan generasi milenial. Taufiq menekankan bahwa generasi muda harus lebih cerdas dalam menyaring konten radikal di media sosial. Sebuah penelitian yang diawasi oleh Guru Besar UIN Bandung menunjukkan bahwa 58 persen anak muda lebih suka belajar agama melalui media sosial seperti YouTube atau Instagram.
Fenomena ini menunjukkan bahwa anak-anak muda cenderung lebih mengenal pendakwah individual di dunia maya dibandingkan organisasi keagamaan tradisional. Tren hijrah dan Syar’i, yang menyempit pada gaya hidup, pakaian, dan kelompok pengajian, semakin populer berkat peran influencer dan digital marketing.
Arus informasi yang deras membuat sulit bagi kita untuk membedakan mana yang valid dan mana yang tidak. Konten dakwah online sering kali dikuasai oleh kelompok-kelompok yang cenderung tertutup terhadap Muslim yang memiliki pandangan berbeda.
Pencarian di internet dengan kata kunci tertentu hanya akan menghasilkan referensi yang relevan dengan kata kunci tersebut, yang akhirnya bisa mempersempit pemahaman agama. Hal ini merupakan ancaman serius bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama bagi kalangan milenial yang sangat terbiasa dengan media sosial.
Fakta menunjukkan bahwa perekrutan anak muda ke dalam organisasi radikal mayoritas dilakukan melalui media sosial. Penguatan civil society atau masyarakat sipil adalah kunci untuk menghalau radikalisme.
Taufiq menekankan bahwa kegiatan kontra radikal-terorisme harus dilakukan secara simultan dan efektif oleh seluruh lapisan pemerintah dan masyarakat. Ini bukan hanya tanggung jawab polisi atau tentara, tetapi juga seluruh masyarakat sesuai dengan amanat UUD 1945 untuk bersama-sama menjaga NKRI.
Praktisi Digital, Ismail Cawidu, menjelaskan bahwa UUD 1945 Pasal 28E ayat (3) dengan jelas menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Selain itu, setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya.
Namun, fakta menunjukkan bahwa teknologi informasi dan komunikasi (TIK) sering disalahgunakan untuk menyebarkan kebencian, permusuhan, dan radikalisme, yang mengakibatkan penderitaan orang lain. Segala energi, kerja keras, dan dana yang digunakan untuk membangun infrastruktur telekomunikasi menjadi tidak produktif ketika digunakan untuk tujuan yang merusak.
Implementasi nilai-nilai Pancasila merupakan salah satu cara yang efektif dalam menangkal bahaya radikalisme dan terorisme yang hingga saat ini masih mengintai masyarakat. Terkait hal tersebut, Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Romo Antonius Benny Susetyo menekankan pentingnya pendekatan Pancasila untuk menangani terorisme. Selain itu, dirinya turut mengajak pegiat media sosial untuk membangun pola pendidikan Pancasila kekinian karena pola pendidikan Pancasila lama tidak lagi diminati generasi milenial.
Tak hanya itu, Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Romo Antonius Benny Susetyo juga menilai perlu pendidikan Pancasila yang menggunakan kemasan audio visual seperti film. Salah satu tema bahasan yang dapat diangkat adalah perjalanan hidup seorang Narapidana Terorisme yang kemudian kembali berikrar setia kepada NKRI. Dengan adanya film tersebut, masyarakat khususnya generasi muda diharapkan dapat meresapi bahwa radikalisme merupakan ancaman berbahaya yang dapat mengancam keutuhan bangsa.
Dalam menghadapi era globalisasi dan serangan ideologi alternatif yang kian masif, peringatan Kelahiran Pancasila menjadi momentum penting untuk memperkuat ketahanan ideologi bangsa. Pancasila sebagai dasar negara dan pandangan hidup bangsa Indonesia harus selalu dijaga dan diimplementasikan dalam setiap aspek kehidupan. Pemerintah dan masyarakat perlu bersatu padu dalam upaya menangkal radikalisme, membangun ketahanan ideologi, dan menjaga keutuhan NKRI.
Mari kita jadikan peringatan Hari Pancasila sebagai ajang untuk merefleksikan kembali nilai-nilai luhur Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Dengan semangat Pancasila, kita mampu menciptakan Indonesia yang aman, damai, dan sejahtera, serta menjadikan Pancasila sebagai pilar utama dalam menghadapi tantangan globalisasi dan radikalisme. Pancasila bukan hanya sekadar simbol, tetapi juga jiwa pemersatu bangsa yang harus terus diperjuangkan menuju Indonesia Emas 2045.
)* Penulis adalah kontributor Jendela Baca Institute