Oleh: Adnan Ramdani )*
Kebijakan penyesuaian Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 1% merupakan langkah besar yang diambil pemerintah untuk meningkatkan penerimaan negara dan menciptakan sistem perpajakan yang lebih efisien serta berkeadilan. Kebijakan ini telah disusun dengan mempertimbangkan berbagai aspek, termasuk peraturan perundang-undangan yang berlaku dan kesepakatan antara berbagai pihak terkait, sehingga tidak hanya berlandaskan pada keputusan sepihak, tetapi dengan partisipasi aktif dari seluruh pemangku kepentingan.
Pengenaan penyesuaian PPN sebesar 1% ini merujuk pada Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan yang disahkan sebagai langkah reformasi pajak di Indonesia. UU ini bertujuan untuk memperbaiki sistem perpajakan yang sudah ada agar lebih modern, adil, dan efisien. Dalam proses perumusan kebijakan ini, pemerintah telah melibatkan berbagai stakeholder seperti pengusaha, asosiasi, dan masyarakat untuk memperoleh pandangan yang beragam dan mengakomodasi kepentingan berbagai pihak. Ini menunjukkan bahwa kebijakan tersebut bukan hanya kebijakan yang bersifat top-down, tetapi lebih kepada hasil kesepakatan bersama yang diharapkan mampu membawa dampak positif bagi perekonomian Indonesia secara keseluruhan.
Menyoal PPN yang mengalami kenaikan sampai 12%, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartanto, mengatakan bahwa PPN tersebut merupakan Amanah dari Undang-Undang Nomor 7 pada tahun 2021 soal Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Pada Pasal 7 ayat 1 UU HPP disebutkan bahwa tarif PPN sebesar 12 persen berlaku paling lamban pada 1 Januari 2025. Selain itu, Airlangga juga menyatakan bahwa untuk mengantisipasi kenaikan tarif PPN, pemerintah telah mengeluarkan sederet paket insentif untuk tahun depan. Hal ini diperuntukan agar daya beli masyarakat tetap terjaga. Tarif PPN tersebut dipertahankan dengan kebijakan insentif PPN DTP, di mana pemerintah menanggung 1 persen dari tarif PPN ketiga barang pokok penting yang seharusnya naik menjadi 12 persen.
Dengan adanya penyesuaian tarif PPN ini, banyak pihak yang melihatnya sebagai langkah yang tepat untuk memperkuat sistem perpajakan Indonesia. Sebelumnya, banyak pihak yang menganggap bahwa struktur pajak yang ada belum sepenuhnya mampu menjawab tantangan ekonomi yang semakin kompleks. Kebijakan PPN yang baru ini, meskipun ada penyesuaian tarif, tetap memberikan insentif bagi sektor-sektor tertentu yang dianggap penting untuk pertumbuhan ekonomi, seperti sektor UMKM dan sektor ekspor.
Selain itu, kebijakan ini juga bertujuan untuk meningkatkan transparansi dan kepatuhan wajib pajak. Dengan adanya sistem yang lebih sederhana dan lebih terintegrasi, pengawasan terhadap penerimaan pajak diharapkan bisa lebih efektif. Hal ini juga sejalan dengan tujuan utama dari Harmonisasi Peraturan Perpajakan, yaitu untuk menciptakan sistem pajak yang lebih mudah dipahami oleh masyarakat dan pelaku usaha, sehingga meminimalisir praktik-praktik penghindaran pajak yang selama ini masih menjadi masalah di berbagai sektor. Pemerintah pun telah berupaya memberikan sosialisasi dan pelatihan kepada masyarakat dan pelaku usaha terkait perubahan ini, agar transisi berjalan lancar dan tidak menimbulkan kesalahpahaman.
Kebijakan penyesuaian PPN 1% juga telah mempertimbangkan kondisi sosial-ekonomi masyarakat yang beragam. Dalam hal ini, pemerintah memastikan bahwa kebijakan ini tidak akan memberatkan masyarakat, terutama kelompok berpendapatan rendah. Salah satu contoh nyata dari kebijakan ini adalah pembebasan PPN untuk barang dan jasa kebutuhan pokok, seperti makanan dan obat-obatan, yang tetap mempertahankan prinsip keadilan sosial.
Sementara itu, Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, mengatakan Pemerintah akan menanggung kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 1 persen untuk tiga komoditas saat PPN 12 persen diimplementasikan pada 1 Januari 2025. Ketiga komoditas itu yakni tepung terigu, gula untuk industri, dan minyak goreng rakyat atau MinyaKita. Ketiga komoditas itu dinilai sangat diperlukan oleh masyarakat umum, sehingga Pemerintah memutuskan untuk menerapkan PPN ditanggung pemerintah (DTP) atas kenaikan tarif PPN yang bakal berlaku. Sri Mulyani menyatakan keputusan itu merupakan komitmen Pemerintah dalam menyiapkan instrumen fiskal yang berpihak kepada masyarakat.
Penting untuk dicatat bahwa kebijakan ini juga dirancang untuk memperbaiki daya saing Indonesia di kancah global. Salah satu tujuan utama dari harmonisasi peraturan perpajakan adalah untuk menciptakan iklim usaha yang lebih baik di Indonesia, sehingga menarik lebih banyak investasi asing. Sistem perpajakan yang transparan dan mudah dipahami adalah salah satu faktor penting yang dipertimbangkan oleh investor dalam memilih lokasi untuk berinvestasi. Dengan tarif PPN yang lebih stabil dan kesepakatan yang terjalin antara pemerintah dan pelaku usaha, Indonesia diharapkan dapat menjadi destinasi investasi yang lebih menarik di masa depan.
Kebijakan penyesuaian PPN 1% yang berbasis pada UU dan hasil kesepakatan para stakeholder ini merupakan langkah yang sangat positif bagi perekonomian Indonesia. Selain meningkatkan pendapatan negara, kebijakan ini juga mengedepankan prinsip-prinsip keadilan, transparansi, dan keberlanjutan. Dengan kerjasama antara pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat, kebijakan ini diyakini akan membawa dampak positif bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia di masa depan. Ke depannya, diharapkan bahwa sistem perpajakan yang lebih baik ini dapat mendukung tercapainya pembangunan yang lebih merata dan berkelanjutan bagi seluruh rakyat Indonesia.
)* Penulis adalah Pengamat Ekonomi Dalam Negeri