Bali – Event World Water Forum (WWF) ke-10 yang akan diselenggarakan di Bali menjadi momentum bagi Indonesia untuk mengenalkan pengelolaan air terpadu melalui berbagai pendekatan kepada dunia internasional. Hal ini menjadi penting karena isu air menjadi strategis di tengah fenomena perubahan iklim.
Perubahan iklim adalah ancaman global yang signifikan, dan dampaknya sangat dirasakan oleh negara-negara kepulauan yang rentan terhadap kenaikan tingkat permukaan laut, badai tropis, dan fenomena perubahan iklim lainnya.
Staf Ahli Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Bidang Teknologi, Industri, dan Lingkungan Hidup yang juga Wakil Ketua Sekretariat Panitia Nasional WWF ke-10, Endra S. Atmawidjaja mengatakan Indonesia akan mengenalkan tata kelola air lewat pendekatan kearifan lokal kepada peserta WWF.
“Keberhasilan Indonesia mendorong tata kelola air melalui pendekatan budaya lokal dapat menjadi pembelajaran bagi masyarakat global. Praktik yang melibatkan seluruh stakeholder ini membuktikan bahwa Indonesia mampu memimpin dunia dalam menghadapi krisis air,” kata Endra saat ditemui di Bali.
Selama forum berlangsung, para pemimpin dunia akan mengulik cara menyelesaikan masalah tata kelola air hingga perubahan iklim yang bisa menyebabkan gangguan dalam siklus hidrologi.
Badan PBB Food and Agriculture Organization (FAO) telah memproyeksikan dunia akan mengalami krisis air pada tahun 2050. Hal tersebut dapat berimbas pada berkurangnya pasokan pangan yang dihasilkan petani.
Sebagai informasi bahwa saat ini lebih dari 500 juta petani skala kecil memproduksi 80 persen pangan. Oleh karena itu, petani sebanyak itu akan menjadi kelompok paling rentan jika masalah krisis air terjadi.
Dampak lebih buruknya, krisis air bisa memicu konflik antarwilayah hingga antarnegara. Misalnya antara Iran dan Afghanistan, konflik sudah ada sejak tahun 1950-an.
Kedua negara ini bergejolak karena menyusutnya persediaan air. Hal tersebut semakin menguatkan kerja sama dalam pengelolaan air, terutama di daerah perbatasan dan wilayah yang mengalami kelangkaan.
Salah satu tata kelola air di Bali yakni sistem Subak telah diakui UNESCO sebagai local wisdom atau kearifan lokal. Selain itu, Jawa Barat juga telah menunjukkan pengelolaan air lewat mangrove di Taman Hutan Raya (Tahura).
Endra menambahkan bahwa kedua contoh tata kelola tersebut dapat ditunjukkan kepada para pemimpin dan delegasi dunia serta berharap forum ini dapat menyatukan modalitas dan meningkatkan kapasitas dalam menghadapi permasalahan air dunia.
“Spirit World Water Forum di Bali adalah kolaborasi multisektor, multi-helix, multi-pihak, multi-nation, dan multi-bangsa-bangsa dalam rangka menghadapi dan mengatasi bersama persoalan krisis air dan krisis iklim global,” pungkasnya.
Nantinya Indonesia juga akan mengenalkan inovasi dan inisiatif yang telah dilakukan dalam pengelolaan air. Mulai dari sektor pertanian, pertambangan, industri, dan pengelolaan daerah aliran sungai.